Aku duduk di ramainya sebuah cafe, sementara di sampingku ada seorang pria yang sejak tadi memperhatikan wajahku yang aneh. Inilah wajah orang yang sedang patah hati; kosong dan tak bercahaya.
Aku sudah tiga kali berpindah tempat, dari serambi, samping kasir, sampai akhirnya aku memilih ventilasi untuk menyandarkan kepala. Sekarang aku berusaha menyadarkan diri, waktu sudah pukul sebelas malam, dan kalau harus berdiam diri hingga ufuk pagi lagi, sama saja menyiksa diriku sendiri. Aku masih menunggu kereta ini agar sampai di dekatmu, namun masih dengan pikiran yang kosong; aku kembali melamun.
Terkadang tangis tak selalu mengurai luka, ia juga mengisyaratkan bahagia dalam derai air mata. Seperti saat ini, kala kau hadir di tengah-tengah sepi. Kamu begitu manis dan sempurna di mataku, itulah mengapa aku mengabaikan banyak wanita hanya demi memperjuangkanmu. Kamu tawarkan banyak hal yang aku inginkan, perhatian, rasa cinta, rasa dihargai, dan rasa menyenangkan dicemburui olehmu. Awalnya terasa sangat sempurna, namun aku sadar tak ada yang sempuna di dunia ini.
Aku mengejar waktu, berebut pagi dengan bulir-bulir rindu, tak ingin membuatmu menunggu kabarku. Aku berkali-kali menatap ponsel di sampingku, dengan keyakinan penuh, aku selalu berkata, "Pasti memberikan kabar. Dia pasti memberikan kabar. Semenit lagi pasti mengabari, lima menit lagi pasti mengabari, tiga puluh menit lagi pasti mengabari, satu jam lagi pasti mengabari." Dan, bahkan sampai senja usai, aku masih menunggu kabarmu sendirian.
Aku terdiam. Sekali lagi hanya bisa diam. Aku makan di cafe tempat biasa, duduk sendirian, kemudian menatap banyak pasangan kekasih yang terlihat nampak bahagia. Rasa-rasanya aku ingin bertanya padamu, mengapa kita tak pernah sebahagia mereka? Aku tak tahu apa yang mengubahmu jadi seperti ini, mengubah sosokmu jadi wanita yang tak lagi semanis dan seelegan dulu. Kamu yang sekarang adalah kamu yang kasar, tidak peduli, tidak perhatian, tidak pernah menghubungiku duluan, dan selalu menganggap hubungan kita seperti permainan yang sesuka hati kaubisa akhiri.
Aku makan sendirian, sesering yang aku bisa juga terus menatap ponsel. Berharap kamu mengabariku dan ada secercah penyesalan yang kau titipkan dalam chat-mu. Berjam-jam aku menunggu dan ternyata semua harapan itu berakhir hanya menjadi harapan. Kamu tidak ada, menghilang, tanpa kabar. Ini bukan yang pertama, aku tahu sebenarnya saat ini mungkin aku tidak lagi penting bagimu. Mungkin, selama ini aku terlihat seperti lelaki pengganggu yang selalu ingin tahu kabarmu, tapi sadarkah kamu di balik lelaki bodoh ini tersimpan sosok pria yang tak ingin kamu sakit? Sadarkah kamu bahwa dalam diriku yang mungkin tak pernah berarti apapun bagimu ini ada seorang pria yang sedang menjaga cintanya hanya untukmu satu-satunya? Sadarkah kamu bahwa dalam rumitnya sikapku, tersembunyi seorang pria yang ingin kamu seperhatian dulu lagi.
Aku benar-benar kehilangan manisnya dirimu. Aku kehilangan kita yang dulu. Aku tidak menangisi pelukmu yang tiba-tiba tak ada, aku tidak meratapi kecupmu yang tak pernah lagi kau berikan, aku hanya menyesali mengapa semua berubah jadi seperti ini ketika aku sedang sayang-sayangnya padamu?
Aku masih terdiam dan betapa patah hati ini sungguh membuatku tersiksa. Kamu menghilang dan tak ada kabar, tidak mempedulikan aku yang menunggumu sejak tadi. Aku seperti terlempar ke negeri asing, negeri penuh kesepian dan sakit hati, dan dalam negeri itu, aku tak menemukan sosokmu. Yang aku tahu, intinya kamu memang tidak punya niat untuk bertemu, dan memang sudah saatnya aku tak perlu lagi memaksakan perasaan dan cinta ini.
Selama ini kamu terus diam, sehingga aku merasa hubungan kita baik-baik saja. Meskipun selama ini selalu, selalu, dan selalu aku yang terluka. Aku masih menganggap ini baik-baik saja dan aku masih memperhatikanmu, masih mencintaimu, masih mengagumimu seperti biasa; meskipun aku tahu sepertinya hubungan kita yang aku perjuangan setengah mati ini akan segera berakhir hanya dalam hitungan hari.
Aku hanya ingin berpesan, jangan pernah menyesal karena kamu memperlakukan aku seperti ini. Aku tidak akan menyumpahi, berdoa pada Tuhan agar Dia mengutukmu, tapi satu hal yang kautahu; tak akan ada cinta yang sama, tak ada perhatian sekuat yang aku punya, tak akan ada pria yang mau merendahkan dirinya, hanya demi mencintai perempuan biasa. Tak akan ada sosok yang mencintaimu dengan sangat sabar, kecuali aku.
Dan, saat kamu menyia-nyiakan itu semua, kamu akan tahu, betapa selama ini kamu melakukan kebodohan nomor satu. Dalam hitungan hari, kamu memang anti sakit hati, tapi liat nanti. Di bulan kedua, di bulan ketiga, di bulan keempat, sesakmu justru akan lebih parah dari sesakku. Di bulan-bulan penuh kesesakanmu itu, tentu aku sedang giat-giatnya berbahagia tentang sakit hati ditinggalkan olehmu telah terbit dan saat itu tentu aku sedang sangat bahagia bersama perempuan yang lebih baik darimu, tentunya dia berlian, bukan sampah sepertimu.
-Mojokerto, 14032017
Aku sudah tiga kali berpindah tempat, dari serambi, samping kasir, sampai akhirnya aku memilih ventilasi untuk menyandarkan kepala. Sekarang aku berusaha menyadarkan diri, waktu sudah pukul sebelas malam, dan kalau harus berdiam diri hingga ufuk pagi lagi, sama saja menyiksa diriku sendiri. Aku masih menunggu kereta ini agar sampai di dekatmu, namun masih dengan pikiran yang kosong; aku kembali melamun.
Terkadang tangis tak selalu mengurai luka, ia juga mengisyaratkan bahagia dalam derai air mata. Seperti saat ini, kala kau hadir di tengah-tengah sepi. Kamu begitu manis dan sempurna di mataku, itulah mengapa aku mengabaikan banyak wanita hanya demi memperjuangkanmu. Kamu tawarkan banyak hal yang aku inginkan, perhatian, rasa cinta, rasa dihargai, dan rasa menyenangkan dicemburui olehmu. Awalnya terasa sangat sempurna, namun aku sadar tak ada yang sempuna di dunia ini.
Aku mengejar waktu, berebut pagi dengan bulir-bulir rindu, tak ingin membuatmu menunggu kabarku. Aku berkali-kali menatap ponsel di sampingku, dengan keyakinan penuh, aku selalu berkata, "Pasti memberikan kabar. Dia pasti memberikan kabar. Semenit lagi pasti mengabari, lima menit lagi pasti mengabari, tiga puluh menit lagi pasti mengabari, satu jam lagi pasti mengabari." Dan, bahkan sampai senja usai, aku masih menunggu kabarmu sendirian.
Aku terdiam. Sekali lagi hanya bisa diam. Aku makan di cafe tempat biasa, duduk sendirian, kemudian menatap banyak pasangan kekasih yang terlihat nampak bahagia. Rasa-rasanya aku ingin bertanya padamu, mengapa kita tak pernah sebahagia mereka? Aku tak tahu apa yang mengubahmu jadi seperti ini, mengubah sosokmu jadi wanita yang tak lagi semanis dan seelegan dulu. Kamu yang sekarang adalah kamu yang kasar, tidak peduli, tidak perhatian, tidak pernah menghubungiku duluan, dan selalu menganggap hubungan kita seperti permainan yang sesuka hati kaubisa akhiri.
Aku makan sendirian, sesering yang aku bisa juga terus menatap ponsel. Berharap kamu mengabariku dan ada secercah penyesalan yang kau titipkan dalam chat-mu. Berjam-jam aku menunggu dan ternyata semua harapan itu berakhir hanya menjadi harapan. Kamu tidak ada, menghilang, tanpa kabar. Ini bukan yang pertama, aku tahu sebenarnya saat ini mungkin aku tidak lagi penting bagimu. Mungkin, selama ini aku terlihat seperti lelaki pengganggu yang selalu ingin tahu kabarmu, tapi sadarkah kamu di balik lelaki bodoh ini tersimpan sosok pria yang tak ingin kamu sakit? Sadarkah kamu bahwa dalam diriku yang mungkin tak pernah berarti apapun bagimu ini ada seorang pria yang sedang menjaga cintanya hanya untukmu satu-satunya? Sadarkah kamu bahwa dalam rumitnya sikapku, tersembunyi seorang pria yang ingin kamu seperhatian dulu lagi.
Aku benar-benar kehilangan manisnya dirimu. Aku kehilangan kita yang dulu. Aku tidak menangisi pelukmu yang tiba-tiba tak ada, aku tidak meratapi kecupmu yang tak pernah lagi kau berikan, aku hanya menyesali mengapa semua berubah jadi seperti ini ketika aku sedang sayang-sayangnya padamu?
Aku masih terdiam dan betapa patah hati ini sungguh membuatku tersiksa. Kamu menghilang dan tak ada kabar, tidak mempedulikan aku yang menunggumu sejak tadi. Aku seperti terlempar ke negeri asing, negeri penuh kesepian dan sakit hati, dan dalam negeri itu, aku tak menemukan sosokmu. Yang aku tahu, intinya kamu memang tidak punya niat untuk bertemu, dan memang sudah saatnya aku tak perlu lagi memaksakan perasaan dan cinta ini.
Selama ini kamu terus diam, sehingga aku merasa hubungan kita baik-baik saja. Meskipun selama ini selalu, selalu, dan selalu aku yang terluka. Aku masih menganggap ini baik-baik saja dan aku masih memperhatikanmu, masih mencintaimu, masih mengagumimu seperti biasa; meskipun aku tahu sepertinya hubungan kita yang aku perjuangan setengah mati ini akan segera berakhir hanya dalam hitungan hari.
Aku hanya ingin berpesan, jangan pernah menyesal karena kamu memperlakukan aku seperti ini. Aku tidak akan menyumpahi, berdoa pada Tuhan agar Dia mengutukmu, tapi satu hal yang kautahu; tak akan ada cinta yang sama, tak ada perhatian sekuat yang aku punya, tak akan ada pria yang mau merendahkan dirinya, hanya demi mencintai perempuan biasa. Tak akan ada sosok yang mencintaimu dengan sangat sabar, kecuali aku.
Dan, saat kamu menyia-nyiakan itu semua, kamu akan tahu, betapa selama ini kamu melakukan kebodohan nomor satu. Dalam hitungan hari, kamu memang anti sakit hati, tapi liat nanti. Di bulan kedua, di bulan ketiga, di bulan keempat, sesakmu justru akan lebih parah dari sesakku. Di bulan-bulan penuh kesesakanmu itu, tentu aku sedang giat-giatnya berbahagia tentang sakit hati ditinggalkan olehmu telah terbit dan saat itu tentu aku sedang sangat bahagia bersama perempuan yang lebih baik darimu, tentunya dia berlian, bukan sampah sepertimu.
-Mojokerto, 14032017
Komentar
Posting Komentar