Rindu Yang Basah Oleh Air Mata
Empat Belas Hari Setelah Perpisahan Kita
Pertengahan Agustus selalu datang membawakan cerita-cerita tentang rindu yang basah. Entah karena hujan atau air mata. Terima kasih untuk waktumu dan segala sesuatunya. Mungkin kita terlalu sibuk menamai hingga lupa memaknai. Rasa bukanlah matematika yang butuh logika. Rasa sayang itu pemaaf, selalu seperti itu hingga kau berhenti menyayanginya. Ya selalu termaafkan semua sifat dan sikapmu. Kita akan selalu berbeda, tidak akan pernah bisa sama. Namun cinta akan bisa membuat kita (seharusnya) bisa menerimanya.
Masih terasa kekosongan yang disebabkan ketidakhadiranmu di sini. Masih ada rindu yang semakin menggunung karena sudah beberapa hari kita tidak bertemu. Rasanya begitu berat menjalani hari-hari, ketika aku tidak lagi tahu kabarmu saat ini. Rasanya sulit ketika aku melewati setiap jejak kenangan kita, yang tersisa di kotaku, sementara aku menyadari, kita tidak lagi bersama.
Bahagiakah kamu ketika kamu memutuskan untuk mengakhiri segalanya padahal hubungan kita sedang baik-baik saja? Puaskah kamu meninggalkan seseorang yang paling mencintaimu, tanpa memberi dia salam perpisahan? Senangkah kamu menjalani hari-hari tanpa kehadiranku di sampingmu? Kalau memang jawabannya iya, betapa bahagianya hidupmu sekarang. Sedangkan di sini, yang aku rasakan adalah kebalikan dari yang kamu rasakan. Sepertinya memang, hanya aku yang paling sedih menghadapi perpisahan kita.
Kamu tidak tahu, setiap malam selalu ada air mata yang terjatuh untukmu. Kamu tidak akan menyadari, setiap hari hatiku masih terus memanggil namamu. Kamu tidak mengerti, setiap saat aku merapal doa untukmu. Sedangkan mungkin di sana, apapun yang kamu lakukan saat ini, tidak pernah melibatkan aku lagi.
Sayang, semakin berat aku menerima kenyataan, bahwa kamu tidak membutuhkan aku lagi. Kamu lepaskan tanganku, di saat aku masih membutuhkanmu. Kamu tinggalkan aku di tengah perjalanan, tanpa memberi tahu apa yang selanjutnya harus aku lakukan. Kamu begitu mudah mengakhiri segala, tanpa menyadari bahwa caramu mengakhiri membuatku terluka tanpa jeda.
Terima kasih sudah menghancurkan apa yang telah aku bangun selama ini. Terima kasih sudah menghancurkan mimpi-mimpiku untuk mengenalkanmu pada orangtuaku, pada temanku, pada orang-orang yang menanyakan hubungan kita. Terima kasih sudah mengaburkan segala pandangan yang kupikir selama ini cinta. Terima kasih sudah menghempaskanku tanpa memikirkan pengorbananku. Terima kasih untuk setiap luka yang kamu goreskan tidak hanya sekali, tapi berkali-kali.
Empat belas hari setelah segalanya berakhir, rasanya masih separah ketika pertama kali kamu mengucapkan kata pisah. Rasanya semua masih begitu sama. Rasanya mataku masih sembab karena bertanya-tanya dengan air mata. Rasanya ini semua masih tidak adil jika aku harus menerima segalanya dengan logikaku, terutama dengan perasaanku.
Caramu meninggalkanku membuatku semakin tak tentu arah, merasa sibuk berdarah-darah-- demi orang yang kucinta.
Aku tahu dulu aku begitu egois, tapi hanya itulah yang bisa pria bodoh ini lakukan agar kamu tidak pergi menghilang dan jauh. Genggaman tanganku yang terlalu erat itulah yang menyebabkanmu jera dalam pelukanku. Aku tidak sadar bahwa terlalu mencintaimu mengubah aku jadi pria paling pemarah ketika kamu tidak ada kabar. Aku kesal sebenarnya jika harus mengingat semua lagi. Karena aku berusaha untuk melupakanmu, melupakan kita, melupakan bagaimana caramu menatapku, dan berharap bahwa semua kenangan kita bisa segera tergantikan dengan kenangan baru yang aku ciptakan bersama kesibukanku. Itulah harapan yang hingga saat ini belum benar-benar menjadi kenyataan. Aku mengaku kalah karena tak ada kenangan yang membanggakan seperti kenangan kita dahulu.
Kesibukan yang kini sedang kujalani tidak bisa membuatku tertawa lepas tidak karuan seperti dulu aku bersamamu. Saat ini, hanya kehampaan yang bersarang di dadaku. Aku menyesal membiarkanmu pergi dan begitu gengsi untuk memintamu kembali.
Oh, ya, aku keburu menggerutu soal rindu hingga aku lupa mengucapkan selamat ulang tahun dan menanyakan kabarmu. Selamat ulang tahun, ya. Semoga kamu mendapatkan apa yang kamu inginkan, dan selalu bahagia dengan siapapun nantinya. Semoga Tuhan selalu mensucikan tangan-tangan yang menyentuhmu.
Oh, ya, aku keburu menggerutu soal rindu hingga aku lupa mengucapkan selamat ulang tahun dan menanyakan kabarmu. Selamat ulang tahun, ya. Semoga kamu mendapatkan apa yang kamu inginkan, dan selalu bahagia dengan siapapun nantinya. Semoga Tuhan selalu mensucikan tangan-tangan yang menyentuhmu.
Apa kabarmu, Gadis energic yang kegiatannya selalu aku perhatikan setiap waktu? Aku berharap kamu terus mengingat tentangku hingga tak cukup diingatanmu dan kamu tuangkan dalam tulisan yang cukup menjadi energi penyemangat yang membuat aku bertahan, hingga semua kata-kata darimu cukup membuat aku kembali merasa hidup, hingga semua kalimat lugu darimu membuat aku sedikit punya harapan dan melupakan sedikit kesibukanku yang sampai hari ini tidak mampu memberiku kebahagiaan.
Mungkin, saat kamu membaca ini, hanya ada umpatan kesal yang terjulur dari bibirmu, atau hanya amarah sesaat yang bermunculan dalam benakmu. Tapi, masih bolehkah aku berkata jujur bahwa hari-hari yang aku lewati tanpamu adalah hari-hari penuh tanda tanya, tanda tanya yang memiliki jawaban tidak berujung. Aku selalu berharap menemukan jawaban itu bersamamu, meskipun kamu tidak akan berbalik ke arahku walau sedikit saja. Aku mengaku kalah. Aku mengaku masih begitu jatuh cinta padamu seperti pertama kali kita bertemu. Seperti pertama kali kulihat wajahmu dalam sebuah pertemuan kala itu.
Mungkin, saat kamu membaca ini, hanya ada umpatan kesal yang terjulur dari bibirmu, atau hanya amarah sesaat yang bermunculan dalam benakmu. Tapi, masih bolehkah aku berkata jujur bahwa hari-hari yang aku lewati tanpamu adalah hari-hari penuh tanda tanya, tanda tanya yang memiliki jawaban tidak berujung. Aku selalu berharap menemukan jawaban itu bersamamu, meskipun kamu tidak akan berbalik ke arahku walau sedikit saja. Aku mengaku kalah. Aku mengaku masih begitu jatuh cinta padamu seperti pertama kali kita bertemu. Seperti pertama kali kulihat wajahmu dalam sebuah pertemuan kala itu.
Malam ini, ditemani sebungkus rokok dan sebuah asbak, aku menulis hal-hal aneh yang bahkan tidak pernah berhasil aku pahami. Sudah berhari-hari aku lewati tanpamu, tapi setiap harinya bayanganmu justru semakin ada serta hidup. Hobi-hobi baruku bahkan tidak mampu melawan itu semua, kamu begitu sulit untuk ditaklukan pesonanya oleh hal lain. Tidak ada satupun yang mampu menjadi sepertimu. Sementara di sini, aku hanya bisa duduk diam, menatapmu dari kejauhan, mengitarimu dengan pelukan bayangan, dan berharap suatu hari nanti Tuhan kembali menciptakan sebuah pertemuan, dan kita punya peluang untuk saling memaafkan.
Aku senang, meskipun aku sedikit gede rasa karena mengira kamu masih begitu jatuh cinta padaku. Tapi, makin hari, kamu makin jarang mengingat tentangku. Apalagi, kamu begitu cepat melupakanku tanpa kendala apapun. Kamu sekarang sudah semakin deawasa dan semakin cantik. Kamu tetap sukses besar tanpa memikirkan luka yang dulu pernah ada di masa lalu kita. Sedangkan aku masih diam di sini, dengan sebatang rokok yang kian memendek, bersama udara malam Mojokerto yang kian dingin, diiringi suara knalpot yang terus berbunyi. Aku masih menunggumu kembali, diam di tempat, tidak berjalan ke mana-mana, walaupun aku tahu semakin hari kamu justru semakin menjauh bukan mendekat.
Aku sekarang tahu rasanya menangis itu seperti apa. Padahal bapakku selalu bilang bahwa menjadi pria berarti menjadi tidak punya hati. Aku tidak tahu kenapa aku dipaksa untuk tidak memiliki hati, karena aku terlanjur memberi seluruh hatiku padamu, meskipun pada akhirnya aku menyesal telah melepaskan kamu pergi. Aku tidak tahu kenapa seharian ini aku mengabaikan panggilan telepon dari teman-temanku. Aku tidak tahu mengapa seharian ini aku tidak bersemangat melakukan apapun. Aku tidak tahu mengapa malam ini aku masih mendengarkan lagu Sheila On 7 - Terlalu Singkat, berharap aku punya pintu ke mana saja milik Doraemon, dan bisa mengembalikanmu ke dalam pelukanku.
Aku tidak tahu mengapa pelupuk mataku begitu penuh, mengapa malam ini pipiku menghangat, tenggorokanku sesenggukan, hingga aku terpaksa harus menggigit filter rokokku agar aku masih cukup kuat untuk mengisap batang-batang rokok berikutnya. Aku tidak tahu mengapa keyboard laptopku basah. Kemudian telapak tanganku menutupi mulutku, agar tangis sialan ini mereda.
Masa, iya, sih, merindukanmu harus sesakit ini?
Dariku, yang membuatmu seperti hidup kembali.
Masa, iya, sih, merindukanmu harus sesakit ini?
Dariku, yang membuatmu seperti hidup kembali.
Komentar
Posting Komentar