Fase

Kita awali dengan berjabat tangan. Awal mula cerita kita, tidak ada yang istimewa. Semua biasa saja, berjalan sewajarnya seperti setiap pertemuan-pertemuan lain. Kau memulai percakapan lewat pesan singkat tentang pekerjaan sampai ke berbagai topik yang lain. Tidak ada yang aneh bagiku, sah-sah saja. Dan tanpa terasa kau mulai mengisi sudut-sudut terpencil di otakku, menggantung bagaikan kepulan asap dikepalaku. Kau mulai mengisi hari-hariku, menjadi semangat untuk selalu bangun lebih pagi dari biasanya agar sang fajar tak mendahuluiku untuk mengucapakan selamat pagi padamu. Kau membiarkanku masuk sangat jauh kedalam hidupmu, membiarkanku mengganggu rute tujuanmu. Kau menjadi sosok yang menyenangkan, tidak ada lagi cemberut di wajahmu. Hanya senyuman indah yang setiap hari menghiasi wajahmu. Aku masih ingat saat pertama kali kita pergi jalan. Berdua denganmu duduk diatas motor, sambil medengarmu bercerita banyak hal. Aku hanya bisa mendengarkan, sambil sesekali mengusap peluh saat kau melirihkan suaramu karena orang-orang yang pernah menyakitimu. Aku hanya ingin mengingatmu dengan sesadar-sadarnya, dengan pikiran hanya tentang kamu. Dengan hati yang dipenuhi rasa cinta kepadamu, dengan suara yang selalu menyebut namamu. Dengan ingatan yang hanya ada sosokmu. 

Kita lalui dengan bergandeng tangan. Selalu ada rindu yang mulai tertata karenamu, kini aku benar-benar tak sanggup mengelabuhinya. Semoga Allah melapangkan hatimu, agar sebesar-besarnya cintaku tak menyesakkan dadamu. Kau menjadi penyebab segala rasa, selalu ada di penghujung doa, mengisi setiap jengkal nafasku. Aku mohon siapkan otot wajahmu, sebab tertawa bersamaku bisa jadi begitu lama. Aku menjadi penyebab segala tawa bahagiamu. Gerak-gerik dan daya ingatku tentang abjad selalu membuatmu tertawa terbahak-bahak. Tak jarang matamu berair karenanya, air mata yang berasal dari tawa. Kau tak perlu takut (lagi) dengan apapun, karena kini selalu ada aku. Aku, yang selama ini duduk disampingmu, memeluk erat tanganmu, dan selalu menyayangimu apapun yang terjadi. Aku, yang bersedia menjadi tong sampah tempat kamu meluapkan segala amarahmu meskipun aku tak melakukan kesalahan. kuabaikan semua itu hanya demi sebuah senyum yang menjadi penyemangat. Aku mengerti arti tatapan matamu setiap kali kamu membicarakan tentang cinta. Aku mengerti arti genggaman tanganmu setiap kali kuraih jemarimu, kau sangat mencintaiku dan tak ingin aku hilang dari pandanganmu. Kita berjalan mengarungi hari bersama, menghadapi datang dan perginya rindu. Sampai pada akhirnya...

Kau akhiri dengan lambaian tangan. Dari jauh aku hanya bisa menatap kerpergianmu, seiring dengan hilangnya punggungmu. Kini, aku hanya bisa mendoakan semoga Allah selalu menyelimutimu dengan kebahagiaan. Aku hanya bisa mempertanyakan semuanya pada Allah. Tentang perasaanmu padaku, tentang arti hubungan yang kita jalani sejauh ini. Apa arti pelukanmu, gengaman tangan tangan kita, bisikan sayangmu yang selalu berhasil memabukkanku. Kepergianmu yang begitu tiba-tiba seakan benar-benar membuatku kehilangan udara, membuatku terkapar menahan lebam luka yang begitu parah. Air mata yang tak henti-hentinya meneriakkan namamu. Namun, aku harus menerima kenyataan bahwa kamu sudah tak disampingku lagi. Kamu yang memilih pergi, meninggalkan luka yang sangat dalam. Benar memang bahwa orang yang membuatmu tertawa begitu kencang, juga berpeluang membuatmu menangis lebih kencang. Itulah yang terjadi padaku sekarang. Harusnya dari awal aku sadar bahwa untukku kau tak pernah punya cinta. Asal kau tahu, aku tak pernah meminta pada Allah untuk menurunkan perasaan ini. Kebetulan, kita bertemu dan aku mencintaimu. Tapi sayang, aku tak pernah percaya kebetulan. Pasti ada sesuatu yang tak mampu kupahami dan mengerti. Ada suatu rahasia yang masih Allah simpan. Rahasia yang masih terlalu abu-abu untuk kujalani. 

Dan sungguh, melupakanmu tidak semudah membalikkan telapak tangan. Kau masih saja mengepul dikepalaku, dengan beragai senyum dan kerutan wajahmu yang aneh namun tetap terlihat mempesona bagiku. Berkali-kali aku mencoa untuk menghilangkan berjuta kamu dipikiranku, manun nyatanya kamu masih saja ada. Kamu menjelma menjadi cerita yang terbentuk dari derai air mata, tersusun menjadi paragraf-paragraf penuh lara. Hari-hariku hanya dipenuhi sumpah serapa mengutuk diriku sendiri yang semakin terjerat oleh rindumu. Berharap waktu dapat menyembuhkan luka dan mengikhlaskan air mata yang jatuh. Menata kembali kepingan hati yang telah hancur. Kini, aku hanya bisa berharap suatu hari nanti kau bisa berdiri sendiri, dengan kekuatanmu sendiri. Dan aku disini hanya bisa menatapmu dari jauh, menangis diam-diam lalu menyebut namamu dalam stiap doa panjangku. Tak ada yang leih masuk akal saat ini, selain mendoakanmu. Biarkanlah kini aku menjadi sekacau-kacaunya, melebur bersama air mata di dalam ruangan penuh debu yang menyesakkan. Seperti inikah rasanya melepaskan sesorang yang kukira akan setia menemani, sungguh ini bukan hal yang mudah. Tak bisakah kamu duduk sebentar untuk mengajariku caranya melupakan secepat kau melupakanku? Bantu aku membencimu. Setelah semua itu selesai, silahkan pergi. Akan kupastikan semuanya baik-baik saja.


-Sidoarjo, 17 Mei 2017. 

Komentar

Postingan Populer