Sisa-sisa Elegi

Sangat melelahkan ketika harus mengingat kembali. Cerita usang di penghujung senja yang menampakkan elegi. Seperti secangkir kopi yang begitu pahit sekali. Namun akan tetap nikmat jika tahu bagaimana caranya menikmati.
Menjadi tua sebelum waktunya, sangatlah melelahkan. Sumpah! Sama seperti secangkir kopi. Kehidupan tak pernah mau tahu bagaimana rasanya. Mau atau tidak harus tetap dirasakan. Tinggal bagaimana menikmatinya dengan atau tanpa gula. Di pagi atau sore hari, bahkan malam hari.
Berjuang demi kehidupan lebih baik. Harus tertatih menahan lebam derita. Menahan sesak yang tersedak di tenggorokan.
Sisa-sisa peluh melawan kejamnya hidup. Mencakar tanpa peduli siapa atau apa, menghalalkan segala upaya hanya untuk rupiah.
Begitu jahatnya kehidupan. Mencabik uluh hati tanpa permisi. Membungkam rasa yang membuncah tanpa ada belas kasihan. Secercah harap untuk kedua orang tua seketika sirna. Mencoba bertahan hanya dengan doa dari orang tua, tanpa ada langkah sepertinya sia-sia saja. Merangkak pun tak ada gunanya. Kehidupan terus menghujani busur-busur aral.
Satu yang bisa dilakukan, terus melangkah maju. Menuju tepuk tangan diatas podium kemenangan. Menjadikan derita sebagai cara menyingkirkan berbagai aral dan nestapa. Ingatlah selalu, masih ada yang harus diperjuangkan meski hanya asa. Ketidakpastian akan menjadi pasti. Ketidakmungkinan akan menjadi mungkin. Derita akan menjadi bahagia. Pahit akan bercampur dengan manis, teraduk menjadi rasa begitu pas. Tanpa ada kamuflase dari derai-derai kesedihan kehidupan.
Tetaplah menantang dunia yang fana ini.

-elp, november rain

Komentar

Postingan Populer