Sajak-Sajak Bisu

Kalau saja waktu itu aku bisa lebih tegas membunuh perasaanku, mungkin saat ini bukan kamu yang mengepul dikepala, atau mungkin saat ini aku masih tertawa. Berkali-kali aku mencoba untuk menghilangkan berjuta kamu dari pikiranku, tapi nyatanya kamu masih saja ada. Kamu menjelma menjadi cerita yang terbentuk dari derai air mata, tersusun dari paragraf-paragraf penuh lara. Hari-hariku hanya berisi sumpah serapa, mengutuk diriku sendiri atas ketidakberdayaan menaklukkan diriku sendiri, aku semakin terjerat oleh rindumu.
Berharap waktu dapat menyembuhkan luka, mengikhlaskan air mata yang jatuh. Menata kembali kepingan hati yang hancur lebih sulit dibanding merelakanmu. Kini ruang hatiku begitu kelam oleh haru, oleh air mata yang terus kau hujani tepat kearahku. Aku terpana kalimat kangen yang begitu menggoda, begitu mudah terucap dari bibirmu, yang kau keluarkan saat kesedihanmu datang, lalu kau tinggalkan begitu saja saat senyummu kembali terang. Lagi-lagi kau berkelit ketika kurangkai sebuah pertemuan nyata. Kau terus menghadiahiku dengan berbagai kalimat sendu, yang terakumulasi menjadi sakit hati.
Rindu ini kian menyiksa qalbu, menjelma menjadi luka-luka pilu, bergerak perlahan menjadi sajak-sajak bisu, yang patah, yang tak akan pernah lekang oleh waktu. Aku tak mampu berkata ketika rinduku selalu jatuh pada terik sepi, selalu tertolak oleh kebosanan. Sakit tak akan pernah membekas pada setiap hati yang ikhlas, kemudian lupa akan luka, hilang akan benci.


-SA
-MJK, 07092018

Komentar

Postingan Populer